Pelaksanaan PP 36 TAHUN 2017

A. DEFINISI DAN KETENTUAN UMUM
1. Apa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017?
Jawaban:

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017 yang selanjutnya disebut PP 36 Tahun 2017 mengatur tentang Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final atas penghasilan tertentu berupa harta bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 13 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak).

2. Apa tujuan penyusunan PP 36 Tahun 2017?
Jawaban:

Tujuan penyusunan PP 36 Tahun 2017 adalah untuk memberikan kemudahan, kederhanaan, kepastian hukum, dan keadilan bagi Wajib Pajak, agar ke depan ada persamaan perlakuan antara mereka yang membayar pajak dengan jujur dan mereka yang tidak membayar dengan jujur. Hal ini berlaku baik bagi Wajib Pajak yang telah mengikuti program pengampunan pajak, maupun Wajib Pajak yang tidak ikut pengampunan pajak. Terbitnya PP ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.

3. Apa yang dimaksud dengan penghasilan tertentu menurut peraturan ini?
Jawaban:

Penghasilan tertentu menurut peraturan ini adalah:

  • Harta Bersih tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13(4) UU Pengampunan Pajak;
  • Harta Bersih yang dimiliki sampai dengan akhir tahun pajak terakhir, namun belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18(1) UU Pengampunan Pajak;
  • Harta Bersih yang dimiliki sampai dengan akhir tahun pajak terakhir belum dilaporkan dalam SPT PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18(2) UU Pengampunan Pajak.

4. 4. Apa yang dimaksud dengan harta dan utang?
Jawaban:


  1. Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
  2. Utang adalah jumlah pokok utang yang belum dibayar yang berkaitan langsung dengan perolehan harta.

5. 5. Berapakah batasan besaran nilai Utang yang dapat digunakan sebagai pengurang nilai Harta? 

Jawaban:
Nilai Utang yang dapat digunakan sebagai pengurang nilai Harta adalah seluruh pokok Utang yang belum dibayar pada akhir tahun pajak terakhir yang berkaitan langsung dengan perolehan harta.

B. SUBJEK PP 36 TAHUN 2017
6. Kepada siapa PP 36 Tahun 2017 ini diterapkan?
Jawaban:

- Wajib Pajak peserta TA yang:
a. Tidak jadi repatriasi atau tidak menginvestasikan di NKRI selama 3 tahun;
b. Mengalihkan harta ke luar NKRI sebelum 3 tahun;
c. Ditemukan harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam SPH
- Wajib Pajak yang tidak ikut TA dalam hal ditemukan harta yang diperoleh sejak 1 Januari 1985 s.d. 31 Desember 2015 yang belum dilaporkan dalam SPT PPh

7. Apa yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) Undang-undang Pengampunan Pajak?
Jawaban:
Dalam pasal 13 ayat (4) Undang-undang Pengampunan Pajak diatur bahwa dalam hal berdasarkan tanggapan Wajib Pajak diketahui bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan mengenai:

  1. batas waktu pengalihan Harta dan kewajiban menginvestasikan Harta di wilayah NKRI selama jangka waktu paling singkat 3 (tiga) tahun atas Wajib Pajak yang menyatakan akan mengalihkan dan menginvestasikan Harta di wilayah NKRI.
  2. kewajiban menempatkan Harta di wilayah NKRI dan tidak dapat mengalihkan serta menginvestasikan ke luar wilayah NKRI selama jangka waktu 3 (tiga) tahun atas Wajib Pajak yang mengungkapkan Harta yang ditempatkan di wilayah NKRI.
Atas Wajib Pajak tersebut diterapkan ketentuan:

  • terhadap Harta bersih tambahan yang tercantum dalam Surat Keterangan diperlakukan sebagai penghasilan pada Tahun Pajak 2016 dan atas penghasilan dimaksud dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
  • Uang Tebusan yang telah dibayar oleh Wajib Pajak diperhitungkan sebagai pengurang pajak.
8. Apa yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Pengampunan Pajak?
Jawaban:

Dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Pengampunan Pajak diatur bahwa WP yang telah memperoleh Surat Keterangan namun ditemukan data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam SPH, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta tersebut.
9. Apa yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Pengampunan Pajak?
Jawaban:

Dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Pengampunan Pajak diatur bahwa dalam hal atas WP yang tidak menyampaikan SPH sampai dengan periode Pengampunan Pajak berakhir, Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta WP yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam SPT PPh, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud, paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak UndangUndang Pengampunan Pajak mulai berlaku.

c. OBJEK PP 36 TAHUN 2017
10. Harta bersih yang belum atau kurang diungkap dalam SPH sebagaimana dalam Pasal 18 ayat 1 Undang-undang Pengampunan Pajak meliputi harta apa saja? 

Jawaban:
a. Harta Bersih dalam SPT PPh Terakhir yang disampaikan setelah berlakunya Undang-Undang Pengampunan Pajak oleh WP yang telah memperoleh Pengampunan Pajak, namun tidak mencerminkan:
1) Harta Bersih yang telah dilaporkan dalam SPT PPh yang disampaikan sebelum SPT PPh Terakhir dan Undang-Undang Pengampunan Pajak berlaku.
2) Harta Bersih yang bersumber dari penghasilan yang diperoleh pada Tahun Pajak Terakhir.
3) Harta Bersih yang bersumber dari setoran modal dari pemilik atau pemegang saham pada Tahun Pajak Terakhir.
b. Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan akibat penyesuaian nilai Harta berdasarkan Surat Pembetulan atas Surat Keterangan Pengampunan Pajak.

11. Apa yang dimaksud dengan pengertian Harta Bersih yang bersumber dari setoran modal dari pemilik atau pemegang saham ?
Jawaban:

Harta Bersih yang bersumber dari setoran modal adalah Harta Bersih yang diperoleh dari tambahan kemampuan akibat adanya penambahan modal yang disetor pada tahun pajak terakhir.
12. Apa yang dimaksud dengan Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan akibat penyesuaian nilai Harta berdasarkan Surat Pembetulan atas Surat Keterangan Pengampunan Pajak?
 
Jawaban:
Harta bersih yang diperoleh dari penyesuaian nilai harta berdasarkan Surat Pembetulan Surat Keterangan Pengampunan Pajak disebabkan kesalahan :
a. penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan/atau pembagian suatu bilangan;
b. penerapan tarif Uang Tebusan; dan/atau
c. perhitungan nilai utang yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai harta.

13. Bagaimana contoh kesalahan penerapan tarif uang tebusan seperti dalam pertanyaan nomor 12?
Jawaban:
Contoh kesalahan penerapan tarif sebagai berikut:
Wajib Pajak memiliki peredaran usaha sampai dengan Rp. 4,8 miliar dan total Harta lebih dari Rp. 10 miliar seharusnya menggunakan tarif Uang Tebusan sebesar 2% (dua persen) namun pada saat menyampaikan Surat Pernyataan menggunakan tarif Uang Tebusan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).

14. Bagaimana contoh kesalahan penghitungan uang tebusan seperti dalam pertanyaan nomor 12?
Jawaban:
Contoh kesalahan penghitungan uang tebusan sebagai berikut:
Wajib Pajak orang pribadi yang seharusnya mengurangkan nilai Utang paling banyak sebesar 50% dari nilai Harta namun mengurangkan nilai Utang lebih dari 50% dari nilai Harta.
15. Kapan harta bersih yang belum atau kurang diungkap dalam SPH?
Jawaban:
Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam SPH adalah Harta Bersih yang diperoleh WP sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir dan masih dimiliki pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
16. Untuk harta bersih yang belum dilaporkan dalam SPT PPh sebagaimana Pasal 18 ayat (2) seperti apa?
Jawaban:
Harta Bersih yang belum dilaporkan dalam SPT PPh merupakan Harta yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015 yang masih dimiliki WP pada akhir Tahun Pajak Terakhir dan belum dilaporkan dalam SPT PPh sampai dengan diterbitkan surat perintah pemeriksaan untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka menghitung PPh atas penghasilan tertentu berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan.
17. Bagaimana pengenaan pajak atas penghasilan berupa Harta bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan?
Jawaban:
Pengenaan PPh atas penghasilan berupa Harta bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan merupakan penghasilan tertentu yang terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
d. PENGHITUNGAN DAN TARIF PPh
18. Bagaimana cara menghitung PPh nya?
Jawaban:
Pajak Penghasilan yang bersifat final dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan Pajak Penghasilan.
19. Berapa besaran Tarif PPh atas penghasilan berupa Harta bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan?
Jawaban:
a. Wajib Pajak badan sebesar 25% (dua puluh lima persen);
b. Wajib Pajak orang pribadi sebesar 30% (tiga puluh persen); dan
c. Wajib Pajak tertentu sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen).
20. Apa saja batasan untuk Wajib Pajak Tertentu sebagaimana dimaksud dalam PP 36 Tahun 2017?
Jawaban:
Wajib Pajak tertentu merupakan:
a. Wajib Pajak yang menerima penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak Terakhir paling banyak Rp. 4,8 miliar.
b. Wajib Pajak yang menerima penghasilan bruto selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak Terakhir paling banyak Rp. 632 juta, atau
c. Wajib Pajak yang menerima penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada huruf a dan selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada huruf b, dengan ketentuan:
1. jumlah penghasilan bruto yang bersumber selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada huruf b paling banyak Rp632 juta; dan
2. jumlah penghasilan bruto yang bersumber:
a) dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
b) selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud Pada huruf b, paling banyak Rp. 4,8 miliar.
21. Apa yang dimaksud dengan pekerjaan bebas menurut ketentuan ini?
Jawaban:
Yang dimaksud dengan pekerjaan bebas meliputi:
a. tenaga ahli yang meiakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan / peragawati, pemain drama, dan penari;
c. olahragawan;
d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f. agen iklan;
g. pengawas atau pengelola proyek;
h. perantara;
i. petugas penjaja barang dagangan;
j. agen asuransi; dan
k. distributor perusahaan pemasaran berjenjang(multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
22. Penghasilan bruto bagi Wajib Pajak Tertentu pada Tahun Pajak Terakhir sebesar Rp. 4,8 Miliar besarannya dihitung dari apa?
Jawaban:
Penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir meliputi seluruh penghasilan yang merupakan:
a. objek Pajak Penghasilan yang bersifat final; dan
b. objek Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final,
sebagaimana diatur dalam Undang-undang PPh
23. Bagaimana penentuan Penghasilan Bruto pada Tahun Pajak terakhir untuk Wajib Pajak Tertentu yang mengikuti Program Amnesti Pajak?
Jawaban:
Wajib Pajak yang telah memperoleh Surat Keterangan, penghasilan bruto berdasarkan:
a. SPT PPh Terakhir;
b. surat pernyataan mengenai besaran peredaran usaha yang dilampirkan dalam Surat Pernyataan, dalam hal SPT PPh Terakhir tidak dilampirkan dalam Surat Pernyataan; atau
c. surat pernyataan mengenai besaran penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir, dalam hal tidak terdapat dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b;
24. Wajib Pajak apakah yang memenuhi kriteria penentuan penghasilan bruto berdasarkan surat pernyataan mengenai besaran penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir?
Jawaban:
Wajib Pajak yang memenuhi kriteria penentuan penghasilan bruto berdasarkan surat pernyataan mengenai besaran penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir adalah Wajib Pajak yang baru terdaftar mulai tahun 2016 dan mendapatkan penghasilan hanya dari pemberi kerja.
25. Bagaimana contoh penghitungan Pajak Penghasilan atas Penghasilan berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan untuk Wajib Pajak Tertentu menurut PP 36 Tahun 2017.

Contoh 1. Wajib Pajak yang menerima penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak Terakhir paling banyak Rp. 4,8 miliar.
Tuan A merupakan pengusaha katering. Pada Tahun Pajak 2015, Tuan A hanya menerima penghasilan berupa
a. penghasilan usaha katering sebesar Rp. 2 miliar yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final; dan
b. penghasilan sebagai pembawa acara di televisi sebesar Rp. 500 juta yang dikenai Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final.
Apabila terhadap Tuan A diterapkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini maka penghasilan bruto Tuan A adalah Rp. 2 miliar + Rp. 500 juta = Rp. 2,5 miliar.
Mengingat Tuan A menerima penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak 2015 sebesar Rp. 2,5 miliar (tidak melebihi batasan Rp4,8 miliar) maka tarif yang berlaku bagi Tuan A sebesar 12,5%.
Contoh 2. Wajib Pajak yang menerima penghasilan bruto selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak Terakhir paling banyak Rp. 632 Juta.
Tuan B merupakan karyawan yang menerima gaji dari perusahaan tempat bekerja. Tuan B tidak melakukan usaha dan/atau pekerjaan bebas. Pada Tahun Pajak 2015, Tuan B menerima penghasilan berupa:
a. gaji sebesar Rp. 120 juta yang dikenai Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final;
b. bunga deposito sebesar Rp. 5 juta yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final; dan
c. sewa tanah dan bangunan sebesar Rp. 50 juta yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat flnal.
Apabila terhadap Tuan B diterapkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini maka penghasilan bruto Tuan B adalah Rp. 120 juta + Rp. 5 juta + Rp. 50 juta = Rp. 175 juta.
Mengingat Tuan B menerima penghasilan bruto selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak 2015 sebesar Rp. 175 juta (tidak melebihi batasan Rp632 juta) maka tarif yang berlaku bagi Tuan B sebesar 12,5%
Contoh 3. Wajib Pajak yang menerima penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (2) huruf a dan selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Pasal 4 ayat (2) huruf b PP 34 Tahun 2017.
Tuan C merupakan karyawan yang menerima gaji dari perusahaan tempat bekerja. Selain itu Tuan C merupakan pengusaha jasa pencucian motor. Pada Tahun Pajak 2015, Tuan C menerima penghasilan berupa:
a. gaji sebesar Rp. 120 juta yang dikenai PPh yang tidak bersifat final;
b. penghasilan usaha pencucian motor sebesar Rp. 1,5 miliar yang dikenai PPh yang bersifat final;
c. bunga deposito sebesar Rp. 5 juta yang dikenai PPh yang bersifat final; dan
d. sewa tanah dan bangunan sebesar Rp. 50 juta yang dikenai PPh yang bersifat final.
Mengingat Tuan C:
1. menerima penghasilan bruto yang bersumber selain dari usaha dan/atau pekedaan bebas sebesar Rp. 120 juta + Rp. 5 juta + Rp. 50 juta = Rp. 175 juta (tidak melebihi batasan Rp632 juta); dan
2. memiliki jumlah penghasilan bruto dari usaha dan/ atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak 2015 sebesar Rp 1,5 miliar.
Total Penghasilan bruto sebesar Rp. 175 juta + Rp. 1,5 miliar = 1,675 miliar (tidak melebihi batasan Rp4,8 miliar) maka tarif yang berlaku bagi Tuan C sebesar 12,5%.
26. Bagaimana penentuan Penghasilan Bruto pada Tahun Pajak terakhir untuk Wajib Pajak Tertentu yang tidak mengikuti Program Amnesti Pajak?
Jawaban:
Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pernyataan atau tidak mengikuti Program Amnesti Pajak, penghasilan bruto berdasarkan :
a. Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat KePutusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas kewajiban Pajak Penghasilan Tahun Pajak Terakhir yang diterbitlan paling akhir sebelum tanggal penerbitan surat perintah pemeriksaan untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka menghitung Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan;
b. SPT PPh Terakhir, dalam hal belum diterbitkan Surat Ketetapan Pajak atas kewajiban Pajak Penghasilan Tahun Pajak Terakhir; atau
c. surat Pernyataan mengenai besaran penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir, dalam hai tidak terdapat dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.
27. Apakah Surat Pernyataan mengenai Penghasilan Bruto serta merta dapat dijadikan dasar untuk menentukan kriteria WP Tertentu?
Jawaban:
Ya, dapat diakui sepanjang Direktur Jenderal Pajak tidak memiliki data/informasi lain.
28. Data/informasi lain apa yang dapat digunakan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menguji penghasilan bruto dalam rangka menentukan WP Kriteria Tertentu?
Jawaban:
Data atau informasi lain merupakan data atau informasi yang dimiliki Direktur Jenderal Pajak selain data atau informasi yang diperoleh dari Wajib Pajak pada saat pemeriksaan yang dapat membuktikan bahwa Penghasilan Bruto Wajib Pajak pada tahun Pajak terakhir lebih besar dari Rp. 4,8 Milyar.

29. Contoh berkaitan dengan data/informasi lain yang dimiliki Direktur Jenderal Pajak.
Contoh 1. WP memenuhi persyaratan penghasilan bruto.
Direktur Jenderal Pajak memiliki data dan/atau informasi lain yang menyatakan bahwa penghasilan Tuan D adalah sebagai berikut:
a. penghasilan usaha bengkel sebesar Rp. 250 juta yang dikenai PPh yang bersifat final; dan
b. penghasilan deposito sebesar Rp. 10 juta yang dikenai PPh yang bersifat final.
memiliki jumlah penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas dan selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak 2015 sebesar Rp. 250 juta + Rp. 10 juta = Rp. 260 juta, maka tarif yang berlaku bagi Tuan D sebesar 12,5%. Tarif tersebut berlaku karena WP memiliki penghasilan bruto dibawah jumlah tertentu yang diatur dalam PP 36 Tahun 2017.

Contoh 2. WP yang tidak memenuhi persyaratan penghasilan bruto.
Direktur Jenderal Pajak memiliki data dan/atau informasi lain yang menyatakan bahwa penghasilan Tuan D adalah sebagai berikut:
a. penghasilan usaha bengkel sebesar Rp. 1 miliar yang dikenai PPh yang bersifat final; dan
b. penghasilan deposito sebesar Rp. 650 juta yang dikenai PPh yang bersifat final.
memiliki jumlah penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas dan selain dari usaha dan/ atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak 2015 sebesar Rp 1,65 miliar (total penghasilan tidak melebihi batasan Rp4,8 miliar, namun penghasilan dari selain usaha dan/atau pekerjaan bebas melebihi batasan Rp632 juta), maka tarif yang berlaku bagi Tuan D sebesar 30%, karena WP memiliki Penghasilan bruto melebihi jumlah tertentu yang diatur dalam PP 36 Tahun 2017.
e. DASAR PENGENAAN PPh
30. Apa Dasar Pengenaan PPh atas Penghasilan berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan?
Jawaban:
Dasar pengenaan PPh atas Penghasilan berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan adalah:
a. seluruh Harta Tambahan dalam Surat Keterangan atas Wajib Pajak peserta TA yang:
1) tidak memenuhi ketentuan repatriasi atau tidak menginvestasikan di NKRI selama 3 tahun;
2) mengalihkan harta yang berada di dalam NKRI ke luar NKRI sebelum 3 tahun.
b. sebesar jumlah Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan atas WP peserta TA.
c. sebesar selisih lebih antara Harta Bersih yang dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir dengan jumlah yang mencerminkan:
1) Harta Bersih yang telah dilaporkan dalam SPT PPh yang disampaikan sebelum:
a) SPT PPh Terakhir; dan
b) Undang-Undang Pengampunan Pajak berlaku;
2) Harta Bersih yang bersumber dari penghasilan pada Tahun Pajak Terakhir; dan
3) Harta Bersih yang bersumber dari setoran modal dari pemilik atau pemegang saham pada Tahun Pajak Terakhir.
d. sebesar nilai Harta Bersih per akhir Tahun Pajak Terakhir yang tidak dilunasi kekurangan pembayaran Uang Tebusannya dan dianggap sebagai penghasilan sebagaimana tercantum dalam Surat Pembetulan atas Surat Keterangan.
e. sebesar jumlah Harta Bersih yang belum dilaporkan dalam SPT PPh dalam hal ditemukan data dan/atau informasi mengenai Harta WP yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam SPT PPh atas WP yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak.
31. Bagaimana contoh Dasar Pengenaan PPh atas Penghasilan berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan.
a. Wajib Pajak tidak melakukan kewajiban untuk tidak mengalihkan Harta ke luar wilayah NKRI dan/atau tidak melaksanakan pengalihan harta dan investasi ke dalam wilayah NKRI.
Contoh 1. Tuan A mengikuti Pengampunan Pajak dengan rincian Harta di dalam Surat Pemyataan sebagai berikut:
Harta bersih tambahan
Nilai
Berada di dalam NKRI
Rp. 12 miliar
Berada di luar wilayah NKRI dan tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI
Rp. 50 juta
Informasi pelaksanaan Pengampunan Pajak sebagai berikut:
1 September 2016
Penyampaian Surat Pernyataan ke KPP
13 September 2016
Diterbitkan Surat Keterangan
1 Desember 2018
Diketahui Tuan A membeli apartemen di luar negeri dari Harta tambahan yang berada di dalam NKRI.
Berdasarkan informasi di atas, besarnya dasar pengenaan Pajak Penghasilan dihitung sebagai berikut:
Harta Bersih tambahan berada di dalam NKRI
Rp. 12 miliar
Harta Bersih tambahan berada di luar NKRI dan tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI
Rp. 50 juta
Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan
Rp. 12,05 miliar
Contoh 2. Nyonya B mengikuti Pengampunan Pajak dengan rincian Harta di dalam Surat Pernyataan sebagai berikut:
Harta bersih tambahan
Nilai
Berada di dalam NKRI
Rp. 1 miliar
Berada di luar wilayah NKRI dan akan dialihkan dan diinvestasikan ke dalam wilayah NKRI
Rp. 5 miliar
Informasi pelaksanaan Pengampunan Pajak sebagai berikut:
30 September 2016
Penyampaian Surat Pernyataan ke KPP
11 Oktober 2016
Diterbitkan Surat Keterangan
31 Desember 2016
Harta tersebut sampai dengan batas waktu belum sepenuhnya dialihkan ke dalam wilayah NKRI.
s.d. 31 Maret 2017
Tidak ada penyampaian Surat Pernyataan kedua maupun ketiga untuk menyatakan perubahan dari yang semula akan mengalihkan Harta ke dalam wilayah NKRI menjadi tidak mengalihkan Harta ke dalam wilayah NKRI.
Berdasarkan informasi di atas, besarnya dasar pengenaan Pajak Penghasilan dihitung sebagai berikut:
Harta Bersih tambahan berada di dalam NKRI
Rp. 1 miliar
Harta Bersih tambahan berada di luar wilayah NKRI dan akan dialihkan dan diinvestasikan ke dalam wilayah NKRI
Rp. 5 miliar
Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan
Rp. 6 miliar

Contoh 3. Tuan C mengikuti Pengampunan Pajak dengan rincian Harta di dalam Surat Pernyataan sebagai berikut:
Harta bersih tambahan
Nilai
Berada di dalam NKRI
Rp. 3 miliar
Berada di luar wilayah NKRI dan akan dialihkan dan diinvestasikan ke dalam wilayah NKRI
Rp. 10 miliar
Informasi pelaksanaan Pengampunan Pajak sebagai berikut:
9 September 2016
Penyampaian Surat Pernyataan ke KPP
16 September 2016
Diterbitkan Surat Keterangan
31 Desember 2016
Rp.10 miliar telah dialihkan sepenuhnya dan diinvestasikan ke dalam wilayah NKRI.
1 Maret 2018
Tuan C mengalihkan Rp. 1,5 miliar ke luar wilayah NKRI, sehingga tidak memenuhi ketentuan untuk menginvestasikan Harta tersebut selama 3 (tiga) tahun di dalam wilayah NKRI.
Berdasarkan informasi di atas, besarnya dasar pengenaan Pajak Penghasilan dihitung sebagai berikut:
Harta Bersih tambahan berada di dalam NKRI
Rp. 3 miliar
Harta Bersih tambahan berada di luar wilayah NKRI dan akan dialihkan dan diinvestasikan ke dalam wilayah NKRI
Rp. 10 miliar
Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan
Rp. 13 miliar

b. Wajib Pajak mengikuti Pengampunan Pajak namun belum atau kurang mengungkapkan Harta Bersih dalam Surat Pernyataan.
Contoh 4. Tuan D mengikuti Pengampunan Pajak dengan informasi sebagai berikut:
Harta bersih tambahan
Nilai
Berada di dalam NKRI
Rp. 1 miliar
Berada di luar wilayah NKRI dan akan dialihkan dan diinvestasikan ke dalam wilayah NKRI
Rp. 400 juta
Informasi pelaksanaan Pengampunan Pajak sebagai berikut:
10 Maret 2017
Penyampaian Surat Pernyataan ke KPP
20 Maret 2017
Diterbitkan Surat Keterangan
9 Agustus 2019
Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta berupa tanah dan bangunan yang diperoleh tahun 2010 yang belum diungkapkan dalam Surat Pernyataan.
Berdasarkan nilai dari hasil penilaian Direktur Jenderal Pajak, besarnya dasar pengenaan Pajak Penghasilan dihitung sebagai berikut:
Nilai Harta berupa tanah dan bangunan pada tanggal
31 Desember 2015
Rp. 20 miliar
Sisa pokok Utang terkait Harta pada tanggal 31 Desember 2015
Rp. 12 miliar
Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan
Rp. 8 miliar

c. Wajib Pajak tidak mengikuti Pengampunan Pajak namun Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi terkait dengan Harta yang belum dilaporkan dalam SPT PPh.
Contoh 5. Tuan E tidak mengikuti Pengampunan Pajak dan diketahui informasi sebagai berikut:
31 Desember 2015
Tuan E memiliki rekening tabungan senilai Rp. 4 miliar namun belum dilaporkan dalam SPT PPh.
30 April 2018
Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta berupa rekening tabungan tersebut yang pada tanggal 30 April 2018 memiliki nilai Rp. 4,5 miliar.
Dasar Pengenaan Pajak
Sebesar saldo tabungan pada akhir Tahun Pajak Terakhir yaitu Rp. 4 miliar.
d. Harta bersih yang tidak mencerminkan penghasilan dari Tahun Pajak Terakhir.
Contoh 6. PT ABC yang terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak tanggal 2 Januari 2014 melaporkan SPT PPh Terakhir tanggal 30 Agustus 2016 dan menyampaikan Surat Pernyataan pada tanggal 1 September 2016. Surat Keterangan diterbitkan pada tanggal 9 September 2016.
Harta Bersih
SPT PPh Tahun 2014 dilaporkan tanggal 30 April 2015)
SPT PPh Tahun 2015 (dilaporkan tanggal 30 Agustus 2016)
Harta Bersih:
- Tabungan
- Tanah
- Bangunan
- Mobil
Total Harta Bersih
Rp. 1,5 miliar
RP. 1 miliar
Rp. 2 miliar
Rp. 0
Rp. 4,5 miliar
Rp. 3 miliar
RP. 1 miliar
Rp. 2 miliar
Rp. 500 juta
Rp. 6,5 miliar
Posisi modal
Rp. 250 juta
Rp. 300 juta
Penghasilan neto 2015

Rp. 1,5 miliar

Penghitungan dasar pengenaan Pajak Penghasilan sebagai berikut:
Total Harta Bersih 2015
Rp. 6,5 miliar
Total Harta Bersih 2014
Rp. 4,5 miliar
Penambahan Harta Bersih 2015
Rp. 2 miliar
Penghasilan neto 2015
Rp. 1,5 miliar
Selisih antara penambahan Harta Bersih 2015 dengan Penghasilan neto 2015
Rp. 500 juta
Setoran modal 2015
Rp. 50 juta
Dasar Pengenaan Pajak
Rp. 450 juta

e. Kesalahan penerapan tarif uang tebusan
Contoh 7. Tuan F peredaran usahanya dibawah Rp. 4,8 miliar, mengikuti Pengampunan Pajak dengan informasi di dalam Surat Pernyataan sebagai berikut:

Harta Bersih tambahan di dalam NKRI:
Mobil
Rp. 300 juta
Uang Tebusan (0,5% x Rp300 juta)
Rp. 1,5 juta
Informasi pelaksanaan Pengampunan Pajak sebagai berikut:
10 Oktober 2016
Penyampaian Surat Pernyataan ke KPP
20 Oktober 2016
Diterbitkan Surat Keterangan
6 Desember 2017
Direktur Jenderal Pajak menghitung total harta yang dimiliki lebih dari Rp. 10 miliar, sehingga seharusnya menggunakan tarif 2%.
29 Desember 2017
Diterbitkan surat klarifikasi kepada Tuan F untuk melakukan pelunasan atas kekurangan pembayaran Uang Tebusan tersebut.
11 Januari 2018
Tuan F tidak melakukan Pelunasan sehingga Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Pembetulan atas Surat Keterangan.
Isi Surat Keterangan, Surat Pembetulan atas Surat Keterangan dan penghitungan dasar pengenaan Pajak Penghasilan sebagai berikut:

Surat Keterangan
Surat Pembetulan
atas Surat Keterangan
Uang Tebusan
(Tarif 0,5%)
Nilai Harta Bersih per
Akhir Tahun Pajak Terakhir
Uang Tebusan
(Tarif 2%)
Nilai Harta Bersih per Akhir Tahun Pajak Terakhir
Rp. 1,5 juta
Rp. 300 juta
Rp. 1,5 juta
Rp. 75 juta
Tidak dilunasi (Dasar Pengenaan Pajak)
Rp. 225 juta
Total
Rp. 300 juta
Total
Rp. 300 juta

f. Kesalahan penghitungan uang tebusan
Contoh 8. Tuan G mengikuti Pengampunan Pajak dengan informasi di dalam Surat Pernyataan sebagai berikut:

Harta tambahan:
- Tanah
- Mobil
Rp. 3 miliar
Rp. 750 juta
Utang terkait Harta:
- Tanah
- Mobil
Rp. 2 miliar
Rp. 0
Total Harta Bersih
Rp. 1,75 miliar
Uang Tebusan (tarif 2%)
Rp. 35 juta
Informasi pelaksanaan Pengampunan Pqlak sebagai berikut:
1 September 2016
Penyampaian Surat Pernyataan ke KPP
9 September 2016
Diterbitkan Surat Keterangan
1 Desember 2016
Direktur Jenderal Pajak menemukan kesalahan penghitungan Harta Bersih dalam Surat Keterangan (Utang melebihi 50% atas Harta berupa tanah) sehingga diterbitkan surat klarifikasi untuk melakukan Pelunasan atas kekurangan Pembayaran Uang Tebusan.
20 Desember 2016
Tuan G tidak melakukan Pelunasan sehingga Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Pembetulan atas Surat Keterangan.
Penghitungan Uang Tebusan seharusnya menjadi:

Surat Keterangan
Seharusnya
Harta tambahan:
- Tanah
- Mobil
Rp. 3 miliar
RP. 750 juta
Rp. 3 miliar
RP. 750 juta
Utang terkait Harta:
- Tanah
- Mobil
Rp. 2 miliar
Rp. 0
Rp. 1,5 miliar
Rp. 0
Total Harta Bersih
Rp. 1,75 miliar
Rp. 2,25 miliar
Uang Tebusan (tarif 2%)
Rp. 35 juta
Rp. 45 juta
Tuan G diklarifikasi untuk membayar kekurangan Uang Tebusan sebesar Rp. 10 juta (Rp. 45 juta – Rp. 35juta). Sampai dengan batas waktu yang ditentukan, kekurangan tersebut tidak dilunasi. Sehingga dasar pengenaan Pajak dihitung sebagai berikut:
Nilai Harta Bersih per Akhir Tahun Pajak Terakhir dalam Surat Pembetulan atas Surat Keterangan
Rp. 2,25 miliar
Nilai Harta Bersih per Akhir Tahun Pajak Terakhir dalam Surat Keterangan
Rp. 1,75 miliar
Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan
Rp. 500 juta
32. Bagaimana menghitung besarnya Nilai Harta Bersih untuk harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam SPH?
Jawaban:
Nilai Harta untuk menghitung besarnya nilai Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam SPH ditentukan sebagai berikut:
a. Harta berupa kas berdasarkan nilai nominal; atau
b. Harta selain kas berdasarkan nilai dari hasil penilaian yang dilakukan Direktur Jenderal Pajak sesuai kondisi dan keadaan Harta selain kas,
pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
33. Apakah diperbolehkan menggunakan mata uang selain Rupiah dalam menilai harta berupa kas?
Jawaban:
Untuk Harta berupa kas dalam mata uang selain Rupiah harus ditranslasikan terlebih dahulu ke dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk keperluan penghitungan pajak pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
34. Untuk harta selain kas, bagaimana cara menentukan nilainya?
Jawaban:
Harta selain kas dengan menggunakan hasil penilaian yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan:
a. nilai yang ditetapkan oleh pemerintah seperti Nilai Jual Objek Pajak NJOP untuk tanah dan bangunan dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) untuk kendaraan bermotor; atau
b. nilai yang ditetapkan sesuai standar penilaian yang berlaku, dalam hal tidak terdapat nilai yang ditetapkan oleh pemerintah.
35. Bagaimana contoh Penghitungan Nilai Harta selain Kas (Tanah dan Bangunan).
Contoh 9. Tuan A tidak mengikuti program Pengampunan Pajak. Pada tahun 2017, Direktur Jenderal Pajak menemukan data bahwa Tuan A memiliki harta berupa rumah dengan luas tanah 200 m2 dan luas bangunan 100 m2 yang tidak dilaporkan dalam SPT PPh.
Dalam Surat Pemberitahuan PajakTerutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) Tahun 2015 atas rumah tersebut, diketahui:
Objek Pajak
Luas (m2)
NJOP per M2 (Rp)
Total NJOP (Rp.)
Bumi
100
1.000.000,00
100.000.000,00
Bangunan
100
3.000.000,00
300.000.000,00
Bumi dan Bangunan
400.000.000,00
Mengingat luas tanah pada SPPT PBB tidak sama dengan luas tanah sesuai data yang ditemukan Direktur Jenderal Pajak, maka nilai tanah ditentukan dengan mengalikan NJOP bumi per m2 dengan luas tanah sesuai data yang ditemukan Direktur Jenderal Pajak tersebut. Nilai bangunan mengacu pada NJOP bangunan karena luas bangunan dalam SPPT PBB sama dengan luas bangunan sesuai data yang ditemukan Direktur Jinderal Pajak. Penentuan nilai harta berupa rumah ditentukan sebagai berikut:
Objek Pajak
Luas (m2)
NJOP per M2 (Rp)
Total NJOP (Rp.)
Bumi
200
1.000.000,00
200.000.000,00
Bangunan
100
3.000.000,00
300.000.000,00
Bumi dan Bangunan
500.000.000,00
Berdasarkan perhitungan di atas, nilai Harta berupa rumah tersebut sebesar Rp. 500 juta.
Contoh 10. Tuan B tidak mengikuti program Pengampunan Pajak. Pada tahun 2017, Direktur Jenderal Pajak menemukan data bahwa Tuan B memiliki harta berupa rumah dengan luas tanah 400 m2 dan luas bangunan 100 m2 yang tidak dilaporkan dalam SPT PPh Tahun 2015.
Dalam SPPT PBB Tahun 2015 atas rumah tersebut diketahui:
Objek Pajak
Luas (m2)
NJOP per M2 (Rp)
Total NJOP (Rp.)
Bumi
400
1.000.000,00
400.000.000,00
Bangunan
-
-
-
Bumi dan Bangunan
400.000.000,00
Mengingat luas tanah dalam SPPT PBB sama dengan luas tanah sesuai data yang ditemukan Direktur Jenderal Pajak, maka nilai tanah mengacu pada NJOP bumi, yaitu sebesar Rp. 400 juta. Untuk nilai bangunan ditentukan birdasarkan hasil penilaian Direktur Jenderal Pajak karena NJOP bangunan tidak tersedia dalam SPPT PBB Tahun 2015. Setelah dilakukan penilaian oleh Direktur Jenderal Pajak, diperoleh nilai bangunan sebesar Rp. 300 juta.
Berdasarkan perhitungan di atas, nilai Harta berupa rumah tersebut sebesar Rp. 700 juta. Nilai Harta tersebut merupakan hasil penjumlahan nilai tanah dan nilai bangunan (Rp. 400 juta + Rp. 300 juta = Rp, 700 juta).
36. Bagaimana menghitung besarnya Nilai Harta Bersih untuk harta yang belum dilaporkan dalam SPT PPh?
Jawaban:
Nilai Harta untuk menghitung besarnya nilai Harta Bersih yang belum dilaporkan dalam SPT PPh ditentukan sebagai berikut:
a. Harta berupa kas berdasarkan nilai nominal; atau
b. Harta selain kas berdasarkan nilai dari hasil penilaian yang dilakukan Direktur Jenderal Pajak sesuai kondisi dan keadaan Harta selain kas,
pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
f. SAAT TERUTANG
37. Kapan saat terutang PPh Final atas Penghasilan berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan?
Jawaban:
Pajak Penghasilan yang bersifat final terutang pada:
a. akhir Tahun Pajak 2016, untuk penghasilan tertentu berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) Undang-undang Pengampunan Pajak;
b. saat diterbitkan surat perintah pemeriksaan untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka menghitung Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan, untuk penghasilan tertentu berupa Harta bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (2) Undang-undang Pengampunan Pajak; dan/atau
c. saat diterbitkan Surat Pembetulan atas Surat Keterangan yang berisi penyesuaian nilai Harta yang diberikan Pengampunan Pajak, untuk penghasilan tertentu berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan akibat penyesuaian nilai Harta berdasarkan Surat Pembetulan atas Surat Keterangan
38. Kapan mulai berlakunya PP 36 Tahun 2017?
Jawaban:
Ketentuan pengenaan PPh final atas Penghasilan berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan yang diatur melalui PP 36 Tahun 2017 mulai berlaku pada tanggal peraturan ini diundangkan yaitu 11 September 2017.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pelaksanaan PP 36 TAHUN 2017"

Post a Comment