Indonesia, menurut Sri Mulyani, 'dapat memanfaatkan data tersebut untuk
mengeruk pajak dari sekitar Rp600 triliun dana nasabah WNI disimpan di
Singapura'.
"Singapura telah menyampaikan bahwa Indonesia termasuk negara yang eligible
atau included di dalam MCAA mereka. Artinya perjanjian AEoI sudah
otomatis bisa dijalankan sesuai timeline," ujar Sri Mulyani kepada
wartawan di Jakarta, Rabu (12/07).
MCAA adalah kesepakatan multilateral tentang pelaksanaan pertukaran
informasi secara otomatis (AEoI) melalui skema standar pelaporan bersama (CRS).
Kesepakatan itu dikelola Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi
(OECD).
- Sri Mulyani: Saya akan kejar ke mana pun Anda sembunyikan aset
- Pemerintah 'salah' soal komunikasi amnesti pajak
- Indonesia butuh Rp5.300 triliun untuk proyek infrastruktur hingga 2020
Indonesia meneken kesepakatan itu awal Juni 2015 di Paris, Prancis.
Sementara itu, Singapura menandatangani dokumen tersebut akhir Juni lalu.
"Sebagai pusat bisnis dan keuangan, kami mendapatkan kepercayaan yang
tinggi. Kami berkomitmen menjalankan standar kerja sama pajak internasional
secara serius," ujar Menteri Keuangan Singapura Heng Swee Keat kala itu.
Niat Singapura itu berkaitan dengan standar internasional mengenai kasus
penghindaran pajak. Isu itu merupakan satu dari sekian rekomendasi yang
dihasilkan pertemuan G20, awal Juli lalu.
Kapan pertukaran informasi dilakukan?
Hingga 29 Juni lalu, 93 negara telah meneken MCAA. Merujuk data OECD,
terdapat dua periode waktu pertukaran informasi nasabah perbankan antarnegara
tersebut.
Indonesia dan Singapura tercatat akan efektif menjalankan pertukaran data
itu pada September 2018. Kedua negara itu tak termasuk 53 negara yang akan
lebih dulu saling bertukar informasi pada September 2017.
Titik terang pertukaran data nasabah antara Indonesia dan Singapura muncul
secara verbal ketika Sri Mulyani dan delegasi Singapura bertemu di KTT G20 di
Jerman, awal Juli lalu.
"Mereka secara khusus meminta bertemu dan menjelaskan bahwa mereka
mengikuti standar internasional itu, bahkan siap untuk menerima
Indonesia," tutur Sri tentang pertemuan di G20 itu.
Apa syarat dari Singapura?
Usai bertemu Indranee Rajah, Sri menyebut MCAA tidak memuat poin khusus
tentang mekanisme pertukaran data nasabah. Namun Singapura tidak memberikan
informasi itu 'secara cuma-cuma'.
Mengutip Kompas.com, April lalu, Direktur Jenderal Pajak Ken
Dwijugiasteadi menyebut Singapura berkenan bertukar data nasabah jika Indonesia
memiliki tingkat transparansi dan akses informasi yang setara dengan mereka.
Syarat itu sejalan dengan keharusan Indonesia menerbitkan undang-undang
tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan pajak sebelum 30 Juni 2017.
Indonesia terikat dengan kewajiban itu setelah meneken MCAA.
Pemerintah menjalankan kewajiban itu dengan menerbitkan Perppu 1/2017 awal
Mei silam. Atas dasar hukum itu, Ditjen Pajak kini berhak mendapatkan info
tentang identitas, saldo dan penghasilan pemilik rekening keuangan
- Amnesti pajak: Deklarasi berhasil namun repatriasi gagal
- Pelaku pasar pesimis dana repatriasi pajak capai target
- Pengampunan pajak: mendatangkan uang atau melindungi pengemplang?
Singapura juga disebut meminta Indonesia merivisi kesepakatan pajak
berganda. Perjanjian itu mengatur pengenaan pajak lebih dari sekali oleh lebih
dari satu negara terhadap satu penghasilan wajib pajak yang berbisnis di luar
negeri.
"Singapura minta kepada kami, double tax agreement perlu
direvisi," ujar Sri, Rabu (13/07).
Permintaan itu, kata Sri, berkaitan dengan perlindungan terhadap investor
asal Singapura yang menanam modal di Indonesia, terutama di sektor
infrastruktur. Perjanjian pajak berganda antarkedua negara selama ini lebih
merujuk ke sektor manufaktur.
Namun Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol menyebut
permintaan revisi double tax agreement itu tak berkaitan dengan AEoI,
melainkan pembaruan perjanjian pajak untuk kepastian legal investor.
Sejauh mana Indonesia dapat berharap?
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (InDEF), Bhimo
Yudistira, menilai pertukaran informasi nasabah antara Indonesia dan Singapura
itu sebagai langkah awal yang tepat. Menurutnya, Indonesia baru akan mencapai
tahap pengenaan pajak hingga repatriasi dalam tiga tahun ke depan.
"Butuh waktu panjang untuk sampai ke tahap penyidikan atau mengetahui
pelanggaran wajib pajak yang punya rekening di Singapura," ujarnya.
Bhimo menuturkan, pemerintah Indonesia bahkan harus membuat kesepakatan baru
dengan Singapura untuk menerapkan penyanderaan (gijzeling) kepada wajib
pajak 'nakal'.
Lebih dari itu, Bhimo memperkirakan potensi pajak dari WNI di Singapura
lebih dari Rp600 triliun. Ia mendorong pemerintah mewaspadai kecenderungan WNI
mengalihkan uang tunai ke aset tetap ketika data nasabah dibuka.
Merujuk penelitian Mckinsey, aset tetap dan dana WNI di lembaga perbankan
Singapura mencapai sekitar Rp2.600 triliun.
"Jangan sampai seperti deklarasi saat amnesti pajak kemarin, besar tapi
mayoritas tidak berbentuk repatriasi atau belum bisa dipulangkan karena
berbentuk aset tetap," kata Bhimo.
Pertukaran data nasabah merupakan bagian dari target pemerintah
memaksimalkan penghasilan dari sektor pajak. Per Mei 2017, Kemenkeu mengklaim
penerimaan dari sektor pajak mencapai 33,4% dari total target 2017 sebesar
Rp1.748 triliun.
Saat rapat kerja dengan komisi keuangan dan perbankan DPR, Mei lalu, Sri
menyebut terdapat Rp4.700 triliun harta wajib pajak yang tidak dideklarasikan.
Sebanyak Rp1.000 triliun di antaranya, kata Sri, berada di luar negeri.
Melalui MCAA, pemerintah ingin mendorong kesadaran WNI untuk mematuhi
kewajiban perpajakan, terutama melaporkan harta atau aset finansial yang selama
ini disembunyikan di luar negeri.
Sumber : http://www.bbc.com
0 Response to "Bisakah Indonesia KERUK pajak Rp600 triliun dari WNI di Singapura .?"
Post a Comment